Kemenristekdikti Data Nomor HP dan Medsos Mahasiswa, Fadli Zon: Grabak Grubuk Tidak Karuan

0
765

RAKYATKU.COM – Rencana pemerintah melalui Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) untuk mendata nomor telepon seluler dan akun media sosial mahasiswa menuai polemik. Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon termasuk salah satu yang bingung dengan rencana itu.

Wakil Ketua DPR itu bahkan mengatakan, jika itu dilakukan Kemenristekdikti, maka bisa dikategorikan tindakan konyol.Bagi Fadli Zon, tindakan seperti itu merupakan kemunduran di era demokrasi.

“Jika ada orang yang memberikan stigma seperti itu (radikal) kepada kampus, pasti dia orang bodoh,” kata Fadli di gedung DPR RI, Senayan, Jakarta seperti dikutip dari Suara.com, Jumat (8/6/2018).

Bagi Fadli, kampus adalah ruang untuk belajar. Jika stigma terorisme dilayangkan terhadap kampus, artinya pemerintah setuju jika kampus adalah label terorisme.

“Kampus kita ini adalah kampus modern dan tidak ada stigma itu. Mahasiswa radikal juga tidak ada. Kalau berpikir radikal dalam arti berpikir tajam, tidak ada masalah,” katanya menjelaskan.

Fadli berpendapat jika berpikir radikal adalah cara berpikir yang mengakar, bukan radikal dalam arti terorisme. Bagi Fadli, berpikir tajam adalah berpikir sesuai dengan kaidah-kaidah pengetahuan.

Menurut dia, kekuatan kampus adalah kekuatan pemikiran yang menghasilkan karya-karya dan benteng peradaban. Ia pun menilai salah atas langkah pemerintah mengawasi ponsel mahasiswa, sehingga perlu dikoreksi.

Oleh karena itu, akun pribadi milik mahasiswa tidak perlu diawasi. Baginya hal tersebut telah menciderai demokrasi. Pengawasan tersebut juga dinilai telah melanggar hak privasi para mahasiswa.

“Kalau orang sudah merasakan ketidakadilan, dia akan mencari jalan sendiri untuk mencapai keadilan. Saya rasa perguruan tinggu dan mahasiswa harus menentang hal ini,” tambah Fadli.

Ia menambahkan, radikalisme dan terorisme jangan dijadikan proyek oleh segelintir pihak. Dirinya menekankan, pemerintah harus memberikan keamanan, keselamatan, dan keyakinan pada masyarakat. “Bukan grabak grubuk tidak karuan,” tegas Fadli.

Sebelumnya, Menristekdikti Mohammad Nasir mengungkapkan, akan melakukan monitoring kepada para dosen dan mahasiswa menyusul maraknya temuan radikalisme di kampus. Salah satu pengawasan yang akan dilakukan yaitu dengan mendata nomor HP dan akun media sosial milik dosen dan mahasiswa.

“Kami lakukan pendataan. Dosen harus mencatat nomor hp yang dimiliki. Mahasiswa medsosnya dicatat. Tujuannya agar mengetahui lalu lintas komunikasi mereka itu seperti apa dan dengan siapa,” ungkap Nasir di Hotel Fairmont Jakarta seperti dikutip dari Republika, Senin (4/6/2018).

Dia mengatakan, pendataan tersebut bukan bermaksud untuk merenggut hak privasi dosen, mahasiswa dan semua sivitas kampus. Kendati begitu, dia memastikan, bentuk pengawasan tersebut mesti dilakukan demi terwujudnya kampus yang steril, bersih dan aman dari segala bentuk paham radikal.

“Kalau mengganggu keamanan. Apapun bentuk (pengawasan) nya, harus dilakukan,” tegas Nasir.

Nasir tidak menutup kemungkinan, saat ini masih banyak kampus yang telah terpapar paham radikal namun belum terdeteksi. Mengingat, menurut dia, paham radikal mulai tumbuh di ranah kampus sejak tahun 1983 ketika dibentuknya Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK BKK).

Kendati begitu, Nasir memastikan saat ini pihaknya tidak akan melakukan cara yang sama seperti halnya NKK/BKK untuk menangkal radikalisme di kampus. Karena jika dihidupkan kembali, maka kampus berpotensi menjadi wahana politik lagi.

“Dan itu bahaya. Jadi, nanti kami akan mendesain kurikulum agar kampus harus bisa memahami keamanan di Indonesia. Supaya kita mendapat kepercayaan dari dunia. Kalau kampus tidak aman bagaimana orang asing mau masuk,” ungkap dia.

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Abdulllah Ubaid Matraji menilai niat Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek-Dikti) mencatat nomor ponsel dan media sosial (medsos) mahasiswa baru kurang tepat.

Menurut Ubaid, ada banyak faktor yang memengaruhi seseorang atau mahasiswa terpapar paham radikal. Maka itu, perlu melakukan pendalaman untuk mengetahui faktor dan siapa yang berperan dalam menanamkan radikalisme di kampus.

“Apakah memang gara-gara HP dan medsos semata? Menurut saya kok tidak,” kata Ubaid seperti dikutip dari SINDOnews, Kamis (7/6/2018).

Menurut dia, upaya mencegah terpaparnya mahasiwa dari paham radikal bisa dilakukan tanpa harus mengawasi wilayah privasi mahasiswa. Misalnya melalui mekanisme pemberian sanksi dan pembinaan.

Leave a reply