Refleksi Hardiknas, Indonesia Bersedia Introspeksi Diri

0
789

Jakarta — Memperingati Hari Pendidikan Nasional, Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI Puan Maharani berharap agar pendidikan di Indonesia semakin baik dan maju.

Hari Pendidikan Nasional bukan hanya satu hari diperingati dan dirayakan, melainkan menjadi jalan pemerintah untuk introspeksi dan menerima kritik dari berbagai pihak.

“Bukan hanya satu hari dirayakan. Tapi ya sebagai introspeksi berkelanjutan untuk pemerintah dan tentu pemerintah juga menerima kritik,” kata Puan seperti dikutip situs berita terkenal Medcomid ketika ditemui di Kemenko PMK, Jakarta, Rabu 2 Mei 2018.

Ia pun mempunyai sejumlah harapan untuk Hari Pendidikan Nasional ini, terutama untuk anak-anak yang berada di pinggiran.

“Saya harap pendidikan Tanah Air makin maju, terutama untuk anak-anak. Saya ingin anak-anak kita mendapatkan pendidikan yang layak,” ujar dia.

Dari tahun ke tahun, katanya, Pemerintah Indonesia memang kerap mengevaluasi kurikulum pendidikan. Evaluasi tak hanya berhenti di situ, melainkan juga menyangkut tenaga pengajar.

“Evaluasi ini juga tidak hanya di kurikulum tetapi juga disesuaikan dengan tenaga pengajar yang ada. Apalagi ketersediaan tenaga pengajar di sekolah-sekolah pinggiran,” tuturnya.

Terkait dengan Kartu Indonesia Pintar (KIP), ia menambahkan, selama ini pemerintah telah bekerja keras untuk menyalurkan setidaknya 19,7 juta KIP untuk sebagian anak-anak Indonesia.

Dengan adanya upaya pemerintah ini, anjut Puan, wajib belajar harus ditekankan kepada anak-anak sesuai dengan harapan pemerintah untuk masa depan Indonesia.

Revolusi Industri 4.0

Persatuan Guru Republik Indonesia atau PGRI berharap Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dapat merespons dengan cepat dan tepat datangnya Revolusi Industri 4.0.

Disrupsi teknologi tak bisa dihindari termasuk dalam penyelenggaran kegiatan belajar dan mengajar di sekolah. Kemendikbud harus segera membuat cetak biru pendidikan yang sesuai kebutuhan dan tantangan zaman.

Ketua Umum Pengurus Besar PGRI Unifah Rosyidi seperti dikutip laman terkemuka pikiranrakyat menuturkan, tanpa cetak biru yang relevan, dunia pendidikan dasar dan menengah nasional akan semakin terpuruk. Menurut dia, kurang masifnya perbaikan pola mengajar dari konvensional menjadi berbasis pemanfaatan teknologi di dalam kelas menjadi salah satu ciri bahwa Kemendikbud lambat dalam merespons perubahan.

Gawat Darurat Pendidikan

Koordinator Subkomisi Pendidikan dan Penyuluhan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Beka Ulung Hapsara menilai, pendidikan Indonesia sedang berada dalam kondisi gawat darurat.

Alasannya, di sektor pendidikan masih banyak dijumpai pelanggaran HAM, ranking pendidikan Indonesia yang buruk, maraknya kasus korupsi anggaran pendidikan, hingga sistem pendidikan yang belum berjalan dengan baik.

“Tindakan pelanggaran HAM di sekolah dan perguruan tinggi dari tahun ke tahun terus meningkat. Pun dengan bentuk pelanggarannya, pelaku, korban, dan modus operandinya,” kata Beka Ulung dalam siaran pers kepada Jurnascom, Rabu (2/5) di Jakarta.

Berdasarkan riset Badan PBB untuk Anak (UNICEF), satu dari tiga anak perempuan dan satu dari empat anak laki-laki di Indonesia mengalami kekerasan. Riset lainnya dari Plan International dan International Center for Research on Women (ICRW) juga menemukan 84 persen anak di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah.

Sementara menurut data Komnas HAM, kasus dugaan pelanggaran HAM terkait isu pendidikan cenderung meningkat. Pada 2017 ada 19 kasus, sementara hingga April 2018 tercatat sudah ada 11 kasus, yang merenggut hak pendidikan, hak memperoleh keadilan, hak mengembangkan diri, hak kesejahteraan, dan hak hidup.

Nawacita Pendidikan banyak Masalah

Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat tujuh masalah pendidikan yang harus segera diselesaikan pemerintah untuk mewujudkan Nawacita bidang pendidikan.

“Masih ada celah yang harus terus diperbaiki, terutama dalam meningkatkan mutu pendidikan sebagaimana yang dicita-citakan,” kata Koordinator Nasional JPPI, A. Ubaid Matraji kepada Republika.co.id, baru-baru ini.

Pertama, nasib program wajib belajar (wajar) 12 tahun ini masih di persimpangan jalan. Alasannya, program itu belum memiliki payung hukum. Perbincangan soal realisasi wajar 12 tahun ini mengemuka sejak awal pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) hingga 2015.

Namun, sepanjang 2016-2017, tidak ada lagi perbincangan dan langkah untuk mewujudkan hal itu. Menurutnya, mandegnya wajar 12 tahun akibat tidak adanya payung hukum yang dapat mendorong untuk mewujudkannya.

Ubaid beranggapan, seharusnya, UU Sisdiknas harus diamandemen khususnya pasal terkait wajar sembilan tahun diubah menjadi 12 tahun. Atau, bisa juga didorong melalui Instruksi Presiden dan Peraturan Daerah tentang pelaksanaan wajar 12 tahun di provinsi.

Kedua, angka putus sekolah dari SMP ke jenjang SMA mengalami kenaikan. Hal ini dipicu maraknya pungutan liar di jenjang MA/SMK/SMA. Banyak kabupaten/kota yang dulu sudah menggratiskan SMA/SMK, tapi kini mereka resah karena banyak provinsi yang membolehkan sekolah untuk menarik iuran dan SPP untuk menutupi kekurangan anggaran untuk pendidikan.

Menurutnya, alih wewenang pengelolaan jenjang sekolah menengah ini tidak menjawab kebutuhan wajar 12 tahun. Namun, hanya peralihan wewenang yang justru menimbulkan masalah baru.

Ketiga, pendidikan agama di sekolah mendesak untuk dievaluasi dan dibenahi, baik metode pembelajarannya maupun gurunya. Berdasarkan penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Jakarta (Desember 2016), terdapat 78 perden guru PAI (Pendidikan Agama Islam) di sekolah, setuju jika pemerintah berdasyarkan syariat Islam dan 77 persen guru PAI mendukung organisasi-organisasi yang memperjuangkan syariat Islam.

Ubaid menilai hal itu merupakan cara pandang yang berbahaya bagi keutuhan NKRI. Jika dibiarkan, benih-benih intoleran dan sikap keagamaan yang radikal akan tumbuh subur di sekolah.

Keempat, masih lemahnya pengakuan negara atas pendidikan pesantren dan madrasah (diniyah). Model pendidikan ini berperan sejak dahulu, jauh sebelum Indonesia merdeka.

Namun, kini perannya termarginalkan karena tidak sejalan dengan kurikulum nasional. Maka, tidak heran, jika belakangan ini kekerasan atas nama agama, SARA, dan benih-benih radikalisme tumbuh subur. Sebab, pendidikan agama di sekolah tidaklah cukup memadahi.

Pendidikan agama tidak bisa dilakukan secara instan di sekolah. Jadi, sekolah perlu bersinergi dengan lembaga pesantren dan madrasah diniyah untuk memberikan pemahaman agama yang komprehensif (tafaqquh fiddin), yang bervisi rahmatan lil alamin. Untuk itu, RUU madrasah dan pesantren harus masuk Prolegnas 2017.

Kelima, pendistribusian Kartu Indonesia Pintar (KIP) harus tepat sasaran dan tepat waktu. Bersekolah bagi kaum marginal masih jadi impian. Marginal di sini terutama dialami oleh warga miskin dan anak-anak yang berkebutuhan khusus.

Angka putus sekolah didominasi oleh kedua kelompok tersebut. Program BOS, BSM, dan KIP perlu dievaluasi karena nyatanya masih banyak anak miskin yang susah masuk sekolah. Pendistribusian yang lambat, alokasi yang tidak akurat, dan juga penyelewengan dana turut menyelimuti implementasi program tersebut.

Khusus untuk kelompok difabel, mereka terkendala susahnya menemukan sekolah inklusi. Akhirnya, mereka harus bersekolah dengan teman yang senasib, dan semakin menjadikannya tereksklusi dari realitas sosial.

Keenam, kekerasan dan pungutan liar di sekolah masih merajalela. Potret buram pendidikan di Indonesia masih diwarnai oleh kasus kekerasan di sekolah dan pengaduan pungli. Modus kekerasan ini sudah sangat rumit untuk diurai, karena para pelakunya dari berbagai arah.

Komponen utama sekolah, yakni, wali murid, guru, dan siswa, satu sama lain berperan ganda. Artinya, masing-masing dapat berperan sebagai pelaku, dapat pula jadi korban. Penerapan sekolah ramah anak menjadi penting untuk direvitalisasi. Di sisi lain, fakta pungutan liar di seakan tidak dapat dikendalikan, terutama terjadi di sekolah negeri yang harusnya bebas pungutan dan juga terjadi di jenjang sekolah menengah.

Ketujuh, ketidak-sesuaian antara dunia pendidikan dengan dunia kerja. Saat ini ada lebih dari tujuh juta angkatan kerja yang belum mempunyai pekerjaan. Sementara di saat yang sama, dunia usaha mengalami kesulitan untuk merekrut tenaga kerja terampil yang sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan dan siap pakai.

Ini menunjukkan bahwa ada gap antara dunia industri dengan ketersedian tenaga terampil di Indonesia. Ini penting, sebab di era MEA, serbuan tenaga kerja asing akan meminggirkan dan mempensiundinikan tenaga kerja Indonesia. Untuk itu, perbaikan dan penyempurnaan kurikulum di sekolah juga harus mampu menjawab masalah ini.(Berbagai Sumber/TIM)

Leave a reply