Pemerintah Pusat Seharusnya Menanggung Pendidikan Dasar Bagi Seluruh Warga Negara

0
56

Pemerintah pusat seharusnya menanggung pendidikan dasar bagi seluruh warga negara Indonesia. Hal ini karena pendidikan dasar merupakan pendidikan wajib yang diamanatkan oleh UUD 1945 sebagai Konstitusi.

Keterangan ini disampaikan oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra dalam sidang lanjutan uji Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (14/8/2024) di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara Nomor 3/PUU-XXII/2024 ini diajukan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia dan tiga Pemohon perorangan yang bernama Fathiyah, Novianisa Rizkika, dan Riris Risma Anjiningrum. Fathiyah dan Novianisa merupakan ibu rumah tangga. Sedangkan Riris seorang ibu yang bekerja sebagai PNS.

“Pendidikan dasar seharusnya dikendalikan oleh Pemerintah pusat karena itu yang wajib diberikan oleh Konstitusi. Bukan sebaliknya. Namun sekarang yang wajib dilepas ke daerah dengan dana transfer tadi, lalu di luar itu menjadi tidak jelas atau tidak eksplisit,” tegas Saldi dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo tersebut.

Dalam sidang yang beragendakan mendengarkan Kementerian Keuangan, Saldi mengungkapkan terjaminnya setiap pendidikan dasar bagi warga negara akan memudahkan negara. “Harusnya yang wajib ini dulu yang didahulukan Pemerintah teruatam Pemerintah pusat, baru kemudian yang lain-lainnya. Sehingga kalau basis (pendidikan dasar) ini kuat, Pemerintah bisa menjamin akan lebih mudah dijenjang-jenjang berikutnya,” tegas Saldi.

Pernyataan serupa disampaikan oleh Ketua MK Suhartoyo yang mempertanyakan proporsionalitas skema transfer dana sebesar 52,1% ke daerah. Ia meragukan apakah seluruh kebutuhan daerah, terutama di sektor pendidikan dasar dan menengah, telah terpenuhi secara optimal melalui skema ini. Suhartoyo menyoroti kemungkinan adanya kendala dalam implementasi di tingkat daerah, atau bahkan adanya kekurangan dalam desain skema itu sendiri. Kemudian, ia juga mengusulkan agar pembiayaan pendidikan dasar dan menengah yang bersifat krusial ditarik kembali ke pusat untuk memastikan kualitas dan pemerataan layanan.

“Secara proporsionalitas apakah skemanya telah terjangkau semua ketika kemudian bagian-bagian yang tidak bisa terjangkau itu bagian persoalan implementasinya ataukah memang ada sedikit keraguan di dalam skema yang 52,1 persen transfer ke daerah ini yang disana sebenarnya ada persoalan kontrolnya yang susah atau bisa jadi implementasinya sangat tergantung pada bagaimana daerah mengaktualisasikan atau merealisasi 52,1 persen ini. Seharusnya kalau untuk yang krusial SD dan SMP kenapa tidak ditarik saja ke pusat?” ujar Suhartoyo.

Ruang Bagi Masyarakat Ikut Serta

Sementara itu, Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan/Direktorat Jenderal Anggaran Isa Rachmatarwata dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo menyampaikan Pasal 4 Ayat (6), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 11, Pasal 34 ayat (2), dan Pasal 46 Ayat (1) UU Sisdiknas saling berkaitan dan menguatkan peran dan tanggung jawab pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam mendukung amanat konstitusi Pasal 31 UUD 1945 untuk terjaminnya penyelenggaran wajib belajar bagi seluruh lapisan masyarakat. UU Sisdiknas memberikan ruang bagi masyarakat untuk turut menyelenggarakan pendidikan melalui sekolah swasta dan sekaligus memberikan pilihan bagi masyarakat untuk memilih sekolah swasta dengan pertimbangan tertentu sesuai preferensi, kemampuan wali murid, dan siswa.

“Untuk menjawab berbagai pertanyaan terkait anggaran pendidikan ini, izinkan kami memulainya dari amanat Pasal 31 ayat (4) UUD Tahun 1945, yang mengatur bahwa “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”,” ujar Isa.

Menurut Isa, amanat ini ditindaklanjuti oleh Pemerintah bersama dengan DPR melalui pengundangan UU Sisdiknas. Dalam Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas diatur bahwa “Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan” dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)”, yang kemudian melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 024/PUU-V/2007, frasa “gaji pendidik dan” telah dinyatakan inkonstitusional.

Perwujudan Pendidikan Dasar

Selain itu, Isa menegaskan, perwujudan pendidikan dasar yang tidak dipungut biaya utamanya dilaksanakan pada sekolah milik pemerintah. Adapun untuk sekolah swasta, masih dapat dilakukan pembayaran secara mandiri kepada penyelenggara sekolah swasta. Selaras dengan hal tersebut, Pemerintah telah dan akan terus memberikan dukungan kepada sekolah swasta dalam bentuk bantuan guna menekan biaya pendidikan agar menjadi lebih murah, melalui dukungan BOS sekolah swasta, PIP bagi siswa dari keluarga miskin yang bersekolah di sekolah swasta, ataupun pengalokasian TPG bagi guru yang mengajar di sekolah swasta. UU Sisdiknas justru memberikan ruang secara terbuka bagi masyarakat untuk turut berpartisipasi dalam mendukung pendidikan nasional, baik karena secara historis dukungan swasta tersebut telah dilakukan sejak Republik Indonesia belum merdeka, maupun secara faktual terdapat kebutuhan masyarakat untuk sekolah dengan standar khusus yang berbeda dari sekolah negeri.

Selain itu, Isa menyebut, adanya permasalahan belum tertampungnya siswa di sekolah negeri dan harus memilih sekolah swasta, adalah permasalahan dalam tataran implementasi, baik karena belum optimalnya kapasitas dan distribusi sekolah negeri, karena rentang dan tingkat kepadatan penduduk, ataupun karena penerapan kebijakan pendidikan yang belum sempurna. Untuk itu, Pemerintah berkomitmen untuk terus melakukan perbaikan, baik dari aspek kebijakan pendidikan maupun aspek dukungan pendanaan.

“Kami tetap optimis bahwa masyarakat akan terus memberikan dukungannya dalam penyelenggaraan pendidikan untuk anak bangsa, dan sekaligus memberikan pengawasan serta kritik membangun bagi terwujudnya SDM yang semakin berkualitas dan berdaya saing tinggi,” tegas Isa.

Menjawab pertanyaan dari Majelis Hakim, Isa menegaskan memang tidak terlepas dari UU yang lain, yaitu UU Otonomi Daerah. Kemudian pembagian kewenangan antara pusat dan daerah yang tentunya juga menjadi acuan dalam menentukan pengelolaan. Menurut Isa, hal ini mungkin menjadi area melakukan upaya dan usaha dilakukan tidak hanya oleh pemerintah pusat, tetapi juga pemerintah daerah.

“Kami mengambilkan contoh misalnya di dalam pengelolaan jalan daerah yang tahun kemarin menjadi isu yang sangat menarik untuk diikuti dimana bapak presiden mendapati pengelolaan di beberapa jalan di daerah kurang baik. Dan kemudian bapak presiden mengambil langkah dengan membuat instruksi presiden untuk menguatkan pemeliharaan jalan daerah oleh pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian PUPR tanpa mengurangi peran dari pemerintah daerah untuk tetap bertanggungjawab terhadap pemeliharaan jalan daerah. Ini mungkin salah satu contoh dimana kita juga bisa membuat kiat untuk meningkatkan peran dari pemerintah pusat tanpa melanggar UU yang lain dalam hal ini UU Otonomi Daerah yang memberikan tugas pada pemerintah daerah,” terang Isa.

Sebagai tambahan informasi, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) diuji secara materiil ke MK. Permohonan perkara Nomor 3/PUU-XXII/2024 ini diajukan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) atau (Network Education Watch Indonesia/New Indonesia) bersama tiga Pemohon perorangan yaitu Fathiyah, Novianisa Rizkika, dan Riris Risma Anjiningrum.

Para Pemohon menguji norma Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas sepanjang frasa “wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya”. Selengkapnya Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas menyatakan, “Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.”

Sebelumnya, para Pemohon menyatakan bahwa frasa tersebut multitafsir, karena hanya pendidikan dasar yang dilaksanakan di sekolah negeri yang tidak dipungut biaya. Pemohon mendalilkan jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya hanya dilakukan di sekolah negeri. Sedangkan jenjang pendidikan dasar yang dilaksanakan di sekolah swasta tetap dipungut biaya. Sehingga Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas sepanjang frasa “wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya” telah menimbulkan ketidakpastian hukum. Hal ini merupakan bentuk diskriminasi pendidikan.

Untuk itu, dalam petitum, para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas sepanjang frasa “wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya”, inkonstitusional secara bersyarat dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar yang dilaksanakan di sekolah negeri maupun sekolah swasta tanpa memungut biaya”.

Comments are closed.