Nadiem dan Seabrek Pekerjaan Menumpuk di Meja, Dimulai dari Murid Tak Takut Guru Lagi

0
809

AKURAT.CO, Masa depan pendidikan Indonesia pada pemerintahan Presiden Joko Widodo periode kedua kini di tangan Nadiem Makarim. Mantan bos Gojek Indonesia itu dipercaya Jokowi bisa membuat terobosan-terobosan out of the box untuk mengatasi berbagai masalah sekaligus meningkatkan pendidikan di negeri ini.

Baru saja menjabat, sudah muncul suara-suara sumbang. Kemampuan Nadiem diragukan bisa menyelesaikan berbagai persoalan dalam dunia pendidikan. Keahlian di bidang teknologi digital dianggap belum cukup karena masalah pendidikan amat kompleks dan tidak bisa diselesaikan begitu saja secara mekanik.

Laporan kali ini, mengetengahkan persoalan apa saja yang tengah mendera dunia pendidikan Tanah Air dan tantangan apa yang dihadapi Nadiem.

Berbagai pertanyaan seperti kenapa Jokowi memilih Nadiem atau sesungguhnya pendekatan apa yang dipakai presiden sehingga menunjuk anak muda itu dan apakah Nadiem tahu kalau sekarang ini banyak kalangan yang meragukannya, akan dijawab semuanya di bagian akhir laporan.

  • Qudrat menekankan perlindungan terhadap guru amat penting. Kondisi mengajar pada 20 tahun yang lalu dengan sekarang berbeda jauh. Sekarang, guru menegur murid, gurunya bisa meninggal, seperti yang dialami Alexander.
  • Qudrat menilai pada pemerintahan periode pertama Jokowi sesungguhnya belum banyak perubahan terhadap persoalan-persoalan yang terjadi dalam pendidikan, terutama guru.
  • Saya tidak menghawatirkan tentang kapasitas (Nadiem). Bagi saya, kita ke depan adalah generasi visioner, harus ada kiblat yang jelas sehingga mereka (generasi penerus) lebih unggul dari negara maju, kata Qudrat.

***

Niat guru agama Sekolah Menengah Kejuruan Ichthus, Alexander Pengkey, pada Senin, 21 Oktober 2019 jam 09.30 WIB itu, sesungguhnya baik.

Dia menasihati murid kelas XI berinisial FL (16) yang sedang merokok bersama C dan OU di kawasan sekolah di Kelurahan Mapanget Barat Lingkungan I, Kecamatan Mapanget, Kota Manado, Sulawesi Utara. Dia ingin menegakkan aturan bahwa murid tidak boleh merokok di lingkungan sekolah, selain itu ingin menyadarkan betapa berbahaya dampak merokok bagi kesehatan.

Tapi rupanya FL dan teman-temannya tak paham niat baik gurunya yang sudah berusia 54 tahun itu. Mereka tidak terima. Dengan penuh emosi, FL pulang ke rumah untuk ambil pisau dan kembali lagi ke sekolah untuk menikam gurunya sendiri.

Alexander yang ketika itu duduk di atas sepeda motor Suzuki Nex DB 3261 AI sama sekali tak menyadari ketika FL datang dengan membawa pisau. Tak berapa lama kemudian, terjadilah penusukan. FL langsung lari setelah kejadian.

Alexander mendapat pertolongan. Dia dievakuasi ke Rumah Sakit Auri dan kemudian dirujuk ke RSUP Prof. Kandou. Tetapi malam harinya, sekitar pukul 20.45 Wita, Alexander menghembuskan nafas terakhir.

Peristiwa tragis yang dialami guru Alexander diceritakan kembali oleh Dewan Pembina Persatuan Guru Republik Indonesia Qudrat Nugraha ketika saya temui di Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta Pusat, baru-baru ini.

Cerita itu untuk menggambarkan betapa berat tantangan yang dihadapi guru zaman milenial ini.

Dia sekaligus ingin memberitahu mantan bos Gojek Indonesia Nadiem Makarim yang ditunjuk Presiden Joko Widodo pada 23 Oktober 2019 untuk menjadi menteri pendidikan dan kebudayaan bahwa kasus kekerasan terhadap guru yang dilakukan oleh murid merupakan salah satu pekerjaan rumah yang tak boleh dibiarkan terjadi.

Kasus Alexander hanyalah satu dari sekian kasus kekerasan terhadap guru yang dilakukan oleh murid.

“Guru mati hampir tiap bulan saya rasa, cuma ya itu banyak yang tidak diungkap di media. Mungkin yang lain sakit, tapi matinya belakangan. Itu siapa yang ngurus?” kata Qudrat.

Qudrat menekankan perlindungan terhadap guru amat penting. Kondisi mengajar pada 20 tahun yang lalu dengan sekarang berbeda jauh. Di masa lalu, guru menegur murid merupakan hal lumrah. Murid menyadari bahwa mereka sedang tahap dididik.

Tetapi kalau sekarang, guru menegur murid, gurunya bisa meninggal, seperti yang dialami Alexander.

Padahal, profesi guru dilindungi melalui Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru.

Pasal 39 (1) UU Nomor 14 menyebutkan perlindungan guru merupakan tanggungjawab pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organiasi profesi, atau satuan pendidikan.

Pasal 39 Ayat (1) Peraturan Pemerintah tentang Guru menyebutkan guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didik yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, dan peraturan tertulis maupun tidak tertulis. Peraturan tertulis maupun tidak tertulis ini bisa ditetapkan oleh guru, peraturan tingkat satuan pendidikan dan peraturan perundangan-undangan dalam proses pembelajaran.

Dewan Pembina PGRI Qudrat Nugraha. AKURAT.CO/Maidian Reviani

Ayat (2) pasal yang sama menyebutkan sanksi yang diberikan guru dapat berupa teguran dan atau peringatan baik lisan maupun tulisan, serta hukuman yang bersifat mendidik sesuai dengan kaedah pendidikan, kode etik guru dan peraturan perundangan-undangan.

Kemudian pada Pasal 40 menyebutkan guru berhak mendapat perlindungan dalam melaksanakan tugas dalam bentuk rasa aman dan jaminan keselamatan dari pemerintah, pemerintah daerah, satuan pendidikan, organisasi profesi guru, dan atau masyarakat sesuai dengan kewenangan masing-masing.

Selain perlindungan selama proses mengajar, guru juga berhak memperoleh perlindungan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 41 Peraturan Pemerintah tentang Guru.

“Guru berhak mendapatkan perlindungan hukum dari tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain,” demikian isi pasal itu.

Tetapi realitas di lapangan bisa berbeda.

Untuk meningkatkan perlindungan, para guru membangun organisasi perlindungan hukum dengan sistem berbasis online dan gratis. Organisasi ini sebenarnya sudah terbilang terlambat karena di Amerika Serikat dan Inggris sudah lama berjalan. “Di kita baru mulai,” kata Qudrat.

Organisasi perlindungan tersebut nanti dapat mendampingi Nadiem Makarim dalam memberikan perlidungan terhadap guru-guru di Indonesia.

“Semoga cocok sama beliau. Daripada kita ngurusin Gopay terus kan itu sama aja beririsan dengan saya itu perlindungan hukum guru online,” kata Qudrat.

Qudrat yang merupakan mantan sekretaris jenderal PGRI mengungkapkan pada pemerintahan periode pertama Jokowi sesungguhnya belum banyak perubahan terhadap persoalan-persoalan yang terjadi dalam pendidikan, terutama guru.

“Karena zaman Pak Jokowi juga jilid satu sesungguhnya tidak bergerak, kurang begitu. Bahkan sebagian besar ada masalah makin banyak,” katanya.

Itulah sebabnya, siang hari itu ketika mengikuti sebuah diskusi, dia mengutarakan sejumlah pekerjaan besar yang akan dihadapi Nadiem Makarim dalam lima tahun ke depan.

Selain masalah perlindungan terhadap guru, persoalan kedua yaitu pengaturan serta pemantauan managemen guru.

Menurut Qudrat, kalau hal tersebut tidak maksimal bakal berdampak serius pada jumlah guru yang tidak memiliki kompetensi.

Sebelumnya, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia Ubaid Matraji menyinggung soal kualifikasi tingkat pendidikan guru atau pendidik, minimal sarjana. Tetapi menurut Ubaid masih banyak guru yang belum memenuhi kualifikasi itu.

Padahal, pemerintah pusat sudah mengatur kewajiban guru atau pendidik mempunyai kualifikasi akademik Sarjana Strata 1 sejak 2005. Aturan itu tercantum dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen terkait kualifikasi akademik guru, kemudian PP Nomor 74 Tahun 2008, PP Nomor 19 Tahun 2017.

Managemen guru, kata Qudrat, seharusnya mengatur profesi guru secara keseluruhan, mulai dari penerimaan, pembinaan, pengembangan, hingga pemberhentian guru (pensiun). Pembinaan yang dilakukan selama ini oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dinilai belum merata.

“Ada ratusan guru yang kurang (kompetensinya) itu. Boleh dicek, setahu saya guru yang kemarin PPP3 lulus rasanya belum diangkat (jadi guru tetap) ya. Rasanya udah mau penerimaan lagi, nah tuh Pak Nadiem bisa ngurusin nggak?” kata dia.

Ketiga, pekerjaan Nadiem yang sudah menunggu adalah bagaimana membuat kebijakan terkait manajemen kepala sekolah.

Posisi kepala sekolah sangat vital dalam lembaga pendidikan karena dia berperan besar menentukan berhasil atau tidak pendidikan. Selain menjadi nahkoda bagi guru hingga murid, dia juga menjadi moderator sekolah yang dipimpin.

Itu sebabnya, kepala sekolah harus memiliki lima kompetensi, yakni kepribadian, manajerial, kewirausahaan, supervisi, dan sosial. Kelima kompetensi ini saling berkaitan dan membutuhkan kerjasama semua pihak. Kompetensi itu berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah.

“Nah kita belum punya standar soal itu (kepala sekolah). Yang sekolah juga masih rata-rata hanya bisa memenuhi kebutuhan minim-minim saja,” kata Qudrat.

Tantangan keempat, memberikan layanan pendidikan yang sederhana serta murah, baik akademik maupun administrasi.

Mengapa harus murah? Menurut Qudrat karena pemerintah memiliki program wajib belajar 12 tahun. Itu sebabnya, untuk menyukseskan program yang dirintis pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono sejak 2012 itu, pendidikan harus bebas biaya agar tidak ada lagi alasan bagi orangtua tidak menyekolahkan anak dari tingkat dasar sampai SMA dan sederajat.

“Nah itu juga tugas pokok Mendikbud baru,” kata Qudrat.

Kelima, pekerjaan kementerian di bawah Nadiem berikutnya, menurut Qudrat, memangkas kurikulum pendidikan supaya murid bisa lebih fokus mengikuti pelajaran. Dia mengingatkan sekarang ini perubahan zaman begitu cepat.

Menurut Qudrat, tidak masalah kurikulum diganti tiap tiga tahun. Di negara lain, bahkan ada yang setiap dua tahun mengganti kurikulum karena mengikuti perkembangan zaman.

“Teman-teman kalau tahu, era 4.0, 3.0, 2.0 itu dari 3.0 ke 4.0 itu waktunya cuma sebentar itu, sangat pendek. Beda dengan 2.0 ke 3.0, itu sampai 100 tahun kalau nggak salah. Tapi dari 3.0 ke 4.0 itu saya nggak bisa banyak jelasin karena nanti bisa 2-3 jam. Sekarang lagi 4.0 belum selesai, udah mau maju lagi,” kata dia.

Keenam, persoalan ujian nasional. Qudrat lebih setuju ujian nasional dihapus. Dia menolak tahapan ini dijadikan syarat kelulusan siswa. Sebab, menurut dia, ujian nasional lebih banyak mendatangkan masalah ketimbang sisi positif.

“Seperti di situ (UN) banyak ketidakadilan, wong sekolahnya seperti itu tapi ujiannya hampir serupa, wong internetnya mampet tapi masih UNBK (UN berbasis komputer), dan sebagainya. Pasti setiap tahun ada masalah.”

Jika UN terus menerus diterapkan, menurut dia, akan selalu memicu protes. Salah satu alasannya, sekolah cenderung cuma fokus pada mata pelajaran yang diujikan, kurang memperhatikan mata pelajaran lainnya.

“Apakah tidak ada cara lain yang lebih murah, efisien, dan juga sederhana?” kata dia.

Pekerjaan rumah yang ketujuh mengenai kekurangan guru besar.

Pendidikan tinggi di Indonesia kembali berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan setelah Nadiem Makarim menjadi menteri. Hal ini menjadi tantangan bagi Nadiem Makarim untuk menangani kekurangan guru besar.

Qudrat membandingkan Indonesia dengan negara lain, seperti Malaysia dan Singapura. Di dua negara itu, untuk menjadi profesor atau guru besar lebih mudah.

“Saya bisa mengatakan begitu karena 90 persen temen-temen saya guru besar semua. Jadi saya tahu kualitas mereka karena hari-hari ketemu. Beda dengan Malaysia dan Singapura, anak-anak muda di sana sudah menjadi guru besar. Di sini menurut saya lebih sulit. Itu sampai omongan orang seperti itu, itulah mengenai managemen dosen,” ujar dia.

Qudrat menduga hal itu terjadi karena kompleksnya birokrasi serta keuangan yang tidak mencukupi untuk membayar tunjangan guru besar. Guru besar minimal mendapatkan tunjangan Rp11 juta sampai Rp12 juta perbulan.

Qudrat berharap Nadiem memiliki solusi. Menurut Qudrat, Nadiem perlu mengatur manajemen dosen, guru besar, hingga rektor, baik di perguruan tinggi negeri maupun swasta.

Kedelapan, peran perguruan tinggi untuk pembangunan wilayah.

Salah satu fungsi perguruan tinggi, kata Qudrat, berkontribusi dalam mendorong perkembangan masyarakat, khususnya pedesaan.

“Kita kan punya banyak perguruan tinggi di semua provinsi. Tapi saya belum lihat belum, kedengaran bunyinya bagaimana membantu belum,” kata Qudrat.

Kesembilan, kementerian baru harus mendorong adanya kajian-kajian secara humanis terhadap Information and Communications Technology.

Qudrat menceritakan pengalaman ketika kuliah S3 pada 2002. Di Inggris kajian secara humanis terhadap perkembangan ICT sudah dilakukan.

Tetapi di Indonesia, kata dia, yang ditonjolkan justru kajian-kajian yang memperlihatkan dampak negatif teknologi. Seperti kasus yang ramai diberitakan beberapa waktu terakhir, ada warga yang kecanduan bermain game dan media sosial hingga mengakibatkan gila.

“Menurut saya, dikbud harus keluar, jangan hanya kata medsos. Banyakan mayarakat itu belajar dari medsos, tapi bagaiamana efek dari the humanisasi dan teknologi komunikasi saya lihat di Indonesia itu belum. Saya kalau Binus, karena saya mengajar di Binus hampir 20 tahun, Binus itu menerapkan ICT betul, jadi saya ngerti betul.”

Qudrat mengatakan penelitian secara humanis mengenai perkembangan ICT sudah mendesak untuk dilakukan di Indonesia. “Baik itu soal tentang pelecehan seksual, bullying dan lain sebagainya,” katanya.

Pekerjaan rumah yang kesepuluh, Nadiem Makarim harus segera membentuk Dewan Pendidikan Nasional. Pasalnya, hingga sekarang sistem pendidikan di Indonesia belum semua terintegrasi sehingga pemerintah daerah belum sepenuhnya menjalankan kebijakan yang digariskan pemerintah pusat.

“Di kejaksaan ada komisi kejaksaan, di kepolisian ada komisi kepolisian, polisi jumlahnya berapa maaf? 700 ribu setahu saya. Guru berapa? Empat kali dari itu, tiga jutaan, tapi kok komisinya nggak ada? Padahal pendidikan itu lintas departemen itu,” tuturnya.

Dewan Pendidikan Nasional dibentuk untuk meningkatkan mutu pelayanan pendidikan. Dewan akan mengawasi sekolah serta produk kebijakannya, terutama yang tidak pas, tidak melalui koordinasi, dan tidak harmoni.

“Jadi Dewan Pendidikan Nasional ini adalah mata dan telinganya presiden dari ujung kecamatan sampai provinsi. Itu masih banyak sekali itu masalah pendidikan. Makanya kalau kapubaten aturannya kemana, provinsi juga kemana (aturannya), makanya itu nggak aneh,” katanya.

Dewan Pendidikan Nasional akan menjadi lembaga mandiri yang anggotanya terdiri dari berbagai unsur masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap pendidikan.

“Saya harapkan dewan ini harus betul yang bisa menggigit, memberikan sanksi. Karena pendidikan itu hampir setiap tahun ada mahasiswa mati di perguruan tinggi, misal kemiliteran itu mati itu setiap tahun ada, tetapi selalu ujungnya hilang,” tuturnya.

Nadiem Makarim harus bisa mengkoordinasikan semua kebijakan dengan lintas departemen agar tujuan pendidikan tercapai.

“Karena di tempat-tempat terpencil masih sangat menyedihkan, banyak anak-anak kita bukan 1-20 atau 1.000-2.000 orang yang untuk pergi sekolah menggantungkan nyawa karena harus nyebrang lautan, empang, kali, gunung, dan sebagainya. Kita juga kalau bicara itu bisa nangis, termasuk juga gurunya,” ujarnya.

Menurut Qudrat, dari sekian banyak pekerjaan rumah yang ada, jika Nadiem Makarim bisa menyelesaikan minimal enam pekerjaan saja, dia memang tidak salah dipilih menjadi menteri.

“Kalau anda (Nadiem) bisa melakukan enam saja itu hebat. Karena lima tahun itu waktu yang sangat sebentar. Saya doakan semoga anda (Nadiem) menteri yang tidak dicopot di tahun pertama,” tuturnya.

Qudrat tidak mau menyoal latar belakang Nadiem yang bukan ahli doktor atau profesor bidang pendidikan.

Dia mengatakan jika Nadiem nantinya ingin berkiblat ke Jepang, maka industri di Indonesia harus diperkuat sehingga dunia kerja dan sumber daya manusia akan link and match.

Jika Nadiem ingin berkiblat pada Singapura, maka karakter generasi muda harus disiapkan menjadi pribadi yang disiplin. Dengan demikian, pendidikan dapat menciptakan anak-anak yang berkarakter, bukan malah robot.

“Saya tidak menghawatirkan tentang kapasitas (Nadiem). Bagi saya, kita ke depan adalah generasi visioner, harus ada kiblat yang jelas sehingga mereka (generasi penerus) lebih unggul dari negara maju,” kata Qudrat. []

Leave a reply