Dibanding Program Makan Bergizi Gratis, JPPI Minta Pemerintah Prioritaskan 4 Hal ini

0
72

Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mengimbau pemerintah untuk pikir ulang terkait pelaksanaan program makan bergizi gratis.

Program ini merupakan janji kampanye pasangan presiden terpilih tahun 2024-2029 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Kornas JPPI Ubaid Matraji menilai, program ini hanya pencitraan dan berpotensi membuang-buang anggaran.

Selain itu, masih ada permasalahan pendidikan yang lebih memerlukan prioritas untuk diatasi oleh pemerintah dibanding makan siang gratis.

Permasalahan serius yang menjadi tiga dosa besar pendidikan di sekolah adalah perundungan, kekerasan seksual, dan intoleransi.

Kasus-kasus ini tiada henti muncul di media massa di berbagai daerah sehingga patut untuk diurus secara serius.

“Kasus terorisme baru di Malang menyadarkan kita semua bahwa para pelajar ini tidak hanya bermasalah dengan pola pikir, cara pandang, dan sikap intoleran, tapi mereka tidak sedikit yang sudah masuk dan terlibat dalam jaringan terorisme,” ungkapnya dalam keterangan tertulis, Kamis 7 Agustus 2024.

Biaya pendidikan yang terus meningkat juga menjadi permasalahan serius yang perlu diatasi.

Sepanjang 5 tahun terakhir, kenaikan tarif biaya sekolah dan kuliah sangat membebani masyarakat.

Hal ini bahkan memicu demonstrasi mahasiswa yang meneriakkan mahalnya biaya pendidikan di Indonesia.

“Banyak Masyarakat menjerit soal biaya pendidikan dasar dan juga belum terlaksananya program wajib belajar 12 tahun. Di sekolah negeri saja masih banyak pungli, apalagi di sekolah swasta maka biaya sekolah kian tak terjangkau,” tuturnya.

Di samping itu, lanjut Ubaid, jika program makan siang dipaksa untuk diimplementasikan, jelas akan menambah beban anggaran.

Sejalan dengan itu, akses dan kualitas pendidikan di Indonesia masih terpuruk.

Diungkapkannya, data BPS 2023 mencatat rata-rata lama sekolah nasional masih 8,7 tahun yang berarti tidak tamat SMP.

Sedangkan kualitas berdasarkan skor PISA 2022, kemampuan literasi-numerasi pelajar Indonesia di bawah standar minimum rata-rata dunia dan menjadi salah satu negara dengan skor terendah.

“Artinya, SDM Indonesia sudah sangat ketinggalan dari negara-negara luar, bahkan kita tertinggal jauh dari negara-negara tetangga. Apakah ini bisa diselesaikan dengan makan siang? Jelas tidak,” pungkas Ubaid.

Problematika terakhir adalah guru honorer yang masih belum sejahtera.

Gaji guru honorer yang masih jauh di bawah UMR dan statusnya yang tidak diakui negara membuat nasib mereka terkatung-katung.

“Mereka hanya menelan janji-janji manis pemerintah yang datang silih berganti. Tapi, nasibnya hingga kini, tak juga menemukan titik terang,” tandasnya.

Menurutnya, permasalahan-permasalahan tersebut jauh lebih mendesak untuk diprioritaskan dan diberikan porsi anggaran dibandigkan makan bergizi gratis yang potensial buang-buang anggaran dan rawan dikorupsi.

Comments are closed.