Ngobrol Pendidikan di JPPI (NGOPI)

0
793

Jakarta – Baru-baru ini, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) megadakan diskusi reguler perdana yang digelar saban hari Rabu, Ngobrol Pendidikan di JPPI disingkat “NGOPI”.Kegiatan NGOPI perdana pekan lalu menghadirkan rekan-rekan dari Perkumpulan Wali Murid 8113, Jaringan Seknas JPPI serta Aliasi Komite Sekolah dan Pengamat.

Refleksi pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Tahun 2017 menjadi salah satu bahan obrolan jelang pelaksanaan PPDB 2018 dalam waktu dekat di tanah air.

Beberapa temuan yang dinilai rentan terjadi selama PPDB antara lain soal pungutan, administrasi dan zonasi, JPPI menerima cukup banyak pengaduan dari masyarakat terkait dengan kasus di PPDB tahun 2017 lalu.

Melalui www.laporpendidikan.com , masyarakat kini lebih proaktif dengan melayangkan temuan-temuan yang dinilai merugikan publik terkait pendidikan.

Pungli dan Penolakan Siswa dalam PPDB 2017?

Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) seperti dilaporkan laman pemberitaan detikcom , bahwa JPPI membuka posko pengaduan masyarakat terkait Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2017. Hasilnya, ada sebesar 41 persen masyarakat yang melaporkan bermasalah dengan sistem zonasi yang diterapkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

Laporan soal sistem zonasi ini menjadi yang terbesar karena banyak masyarakat yang belum mengetahuinya. Oleh sebab itu, banyak yang ditolak di sekolah negeri atau favorit karena sistem ini.

“Kebijakan soal zonasi ini tidak banyak diketahui oleh masyarakat sehingga mereka terkena dampak secara langsung. Ada beragam alasan bagi mereka yang terkena sistem ini,” jelas JPPI lewat keterangan tertulis yang diterima, Kamis (6/7/2017).

Di antara alasan yang disampaikan di antaranya ialah nama anak belum masuk kartu keluarga (KK), tinggal di kecamatan atau kabupaten sebelah mengikuti orang tua kerja, ikut keluarga merantau, dan pisah dengan orang tua dan tinggal bersama sanak saudara.

Selain itu, ada juga alasan tidak mau pilih sekolah sesuai zonasi karena minimnya infrastruktur dan ketersediaan tenaga guru yang berkualitas. Kasus ini masuk ke JPPI dari daerah Nunukan, Bali, Aceh, dan Kota Tangerang.

Atas laporan ini, JPPI merekomendasikan peninjauan ulang kebijakan sistem zonasi dalam PPDB. Selain itu, sosialisasi sistem mesti disampaikan dari jauh-jauh hari.

“Sistem zonasi perlu ditinjau ulang sebab banyak memakan korban, hanya gara-gara ketidaklengkapan administratif. Perlu ada sosialisasi jauh-jauh hari supaya calon peserta didik menyiapkan segala keperluan administratif. Juga, sistem ini dinilai menimbulkan masalah karena kualitas sekolah dan SDM-nya belum merata,” katanya.

Laporan terbanyak kedua ialah soal adanya sekolah swasta atau negeri yang menolak siswa miskin. Banyak sekolah yang menolak siswa yang tergolong rawan melanjutkan pendidikan (RMP) banyak yang ditolak dengan alasan kuota sudah penuh.

“Ini harusnya tidak boleh terjadi, karena batas kuota di Permendikbud No.17/2017 adalah minimal 20 persen. Jadi, bisa lebih banyak dari 20 persen. Harusnya bisa ditambah. Karena mereka adalah kelompok rentan putus sekolah,” tulisnya.

Kasus ini terjadi di Bandung, Surabaya, Kabupaten Tangerang, dan Ambon. Bahkan, di daerah Kulonprogo tidak menerapkan kuota untuk orang miskin sama sekali.

Namun, kuota 20 persen siswa miskin memiliki problem lain. Dalam PPDB 2017 ini masyarakat melaporkan adanya pemalsuan data siswa miskin.

Banyak kalangan yang memanfaatkan hal ini dengan membuat Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM). Di temukan SKTM abal-abal yang tidak sesuai dengan fakta seperti punya mobil tapi mempunyai SKTM. Laporan atas kasus ini banyak terjadi di propinsi Jawa Tengah, Banten, dan Kalimantan Timur.

Persoalan pungutan liar (pungli) saat mendaftar juga masih terjadi. Laporan ini banyak terjadi di sekolah swasta yang mendapatkan dana bantuan operasional sekolah (BOS).

Ada sekolah swasta yang meminta biaya formulir pendaftaran Rp 150 ribu dan dana sumbangan pendidikan (DSP) mencapai Rp 3 juta sampai Rp 5 juta. Harusnya, untuk sekolah swasta yang tidak mendapatkan BOS, boleh saja memungut biaya. Tapi, untuk sekolah swasta yang mendapatkan BOS, maka dilarang memungut biaya saat PPDB.

JPPI meminta pihak Kemendikbud menindak tegas oknum yang melakukan pungli dan jual beli bangku di sekolah. Sebab rata-rata semua sekolah swasta di daerah menerima dana BOS, hanya sedikit yang tidak terima dana BOS.

“Jadi, masuk sekolah negeri tanpa biaya, juga daftar di sekolah swasta juga tanpa biaya,” tegasnya.

Persoalan lain yang dilaporkan oleh masyarakat di antaranya ialah adanya laporan siswa titipan pejabat, tidak ada transparansi saat pengumuman kelulusan karena sistem online yang hang, dan daya tampung sekolah negeri tidak mencukupi, harus daftar ke swasta tapi berbayar. (Tim)

Leave a reply